Jumat, 28 November 2014

Materi Mentoring: Adab Perizinan ^^





Mari sejenak kita berhenti dan menyelami kedalaman ayat-ayat Allah di Qur’an surat An-Nuur ayat 62-63 tentang sebuah cerminan keimanan yang bisa jadi kita melalaikannya sebagai seorang manusia dan da’i. Tentang sebuah kaidah sederhana namun penting dalam‘amal islami. Pembelajaran langsung dari Allah tentang adab isti’dzan, yang termasuk ke dalam sebahagian kecil dari prinsip indibath (kedisiplinan) dan ketaatan dalam berjamaah.

Di dalam ayat 62-63 Quran Surat An-Nuur, Allah berfirman: 

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Ayat tersebut adalah pelajaran dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana Allah telah memerintahkan untuk meminta izin ketika hendak meninggalkan majelis dan tidak membubarkan diri sebelum mendapatkan izin dari Rasulullah. Itulah pengajaran Allah tentang adabul isti’dzan.


Kaidah ini termasuk ke dalam salah satu kaidah yang amat penting dalam konteks ‘amal islami. Kaidah yang penting dalam ‘amal islami, terutama dalam ‘amal jama’i atau amal kolektif yang memerlukan bersatu-padunya antar elemen di dalamnya, yakni pemimpin (qiyadah), yang dipimpin (jundi) dan sistem (manhaj). Sehingga hadirnya kaidah ini adalah sebagai indikator keberjama’ahan sekaligus ujian bagi seorang jundi dalam berjamaah.
Dalam ber-amal jama’i, ada kalanya seorang qiyadah memerintahkan suatu perintah kepada jundi-nya. Dan kaidah ideal yang harus semestinya dilakukan oleh seorang jundi pada kesatuan jamaah yang baik adalah sami’na wa atho’na. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, sangatlah mungkin seorang jundi mendapatkan halangan (udzur) dalam memenuhi perintah dari sang qiyadah. Oleh karenanya di sinilah pentingnya adabul isti’dzan.


Adabul isti’dzan adalah sebuah cerminan dari ketaatan seorang jundi pada qiyadah-nya. Ketaatan jundi pada qiyadah dalam suatu instruksi yang diberikan, ketika menemui suatu udzur dalam pemenuhannya. Semakin baik seorang jundi dalam menyampaikan izin terhadap suatu perintah menandakan seberapa taatnya seorang jundi pada qiyadahnya.
Lantas, seperti apa penyampaian izin yang baik itu? Mari kembali kita memaknai kutipan ayat-Nya dalam Qur’an Surat An-Nuur ayat 62 dan 63. 

Pada ayat tersebut, terdapat beberapa poin penting tentang adabul isti’dzan. Poin-poin penting tersebut antara lain:
  1. Pertama, sampaikanlah izin kepada seorang qiyadah ketika hendak meninggalkan suatu pertemuan atau majelis. Poin ini menunjukkan betapa pentingnya izin itu disampaikan ketika dalam memenuhi suatu pertemuan atau juga bisa diartikan sebagai sebuah perintah dalam jamaahmenemukan suatu halangan atau udzur. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada qiyadah dan pada pertemuan atau perintah itu sendiri.
  2. Kedua, adalah hak seorang qiyadah untuk memberikan izin kepada yang mengajukan izin. Seorang qiyadah berhak untuk memberikan izin kepada yang mengajukan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Seorang qiyadah hendaknya mencermati apakah udzur yang berkenaan dengan pengajuan izin tadi termasuk ke dalam udzur yang syar’i atau tidak. Maksudnya, apakah udzur yang dimaksud karena ada satu hal penting syar’i yang hendak dipenuhi terlebih dahulu atau tidak. Dan timbangan yang hendaknya dipakai dalam menilai ini adalah dengan menggunakan timbangan fiqh prioritas dalam ‘amal islami.
  3. Ketiga, seorang qiyadah hendaknya memohonkan ampunan kepada Allah terhadap mereka yang dikabulkan perizinannya. Ini adalah sebagai bentuk bahwa sesungguhnya seorang qiyadah hendaknya dapat menghargai kepentingan mendasar seorang jundi ketika kepentingan mendasar seorang jundi harus didahulukan daripada perintah dari sang qiyadah tersebut.
  4. keempat, jundi yang hendak meninggalkan pertemuan atau majelis tidak meninggalkan pertemuan atau majelis yang dimaksud sebelum keluar izin dari sang qiyadah. Inilah titik kritis dalam adabul isti’dzan. Maksudnya, ketaatan seorang jundi dalam suatu jamaah bisa dilihat. Apabila seorang jundi sudah meninggalkan pertemuan sebelum keluar izin dari qiyadah, maka ia adalah sebahagian dari mereka yang tidak taat.
Seperti itulah Islam mengajarkan tentang adabul isti’dzan. Keberadaan kaidah ini bukanlah dalam rangka mempersulit gerak suatu jamaah atau kelompok. Keberadaan kaidah ini bukan pula dalam rangka membentuk iklim prosedural birokratif yang njelimet dalam berjamaah atau berkelompok. Namun kaidah ini ada untuk menunjukkan bahwasanya Islam mengajarkan untuk taat kepada qiyadah dan menghargai suatu perintah dari seorang qiyadah.

Dan yang lebih penting lagi adalah adabul isti’dzan sebagai cerminan dari keimanan kita, seperti yang jelas tersampaikan di ayat tersebut bahwa orang-orang yang meminta izin kepada Rasulullah (saat itu) adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, dari sini kita semestinya bisa mengambil suatu ibrah yang amat berharga bahwa cerminan keimanan bisa dilihat dari banyak pengejawantahan dalam keseharian kita, termasuk di dalamnya ketika meminta izin dalam suatu pertemuan atau majelis. Semoga kita termasuk orang-orang yang terjaga untuk selalu melazimi adab dan kaidah dalam berjamaah. Allahu a’lam.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/03/26/29961/memaknai-adabul-istidzan-sebagai-cerminan-iman/#ixzz3KNGtx8gs 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 19 November 2014

Keluarga Sakinah: Jalan Cinta Mempelai Laki ^^

1. MEMBIMBING ISTRI MENJADI SHOLIHA



Dalam kehidupan berumah tangga, hal yang betul-betul perlu diperhatikan oleh seorang suami adalah ketakwaannya untuk menempuh jalan yang benar. Karena biasanya istri menjadi orang yang paling mudah terkena pengaruh negatif, dalam usaha meraih kesenangan dan kemegahan hidup berkeluarga.Mempelai laki-laki dituntut memrbimbing istrinya baik dalam berakidah, beribadah maupun berakhlak.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, keras, lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.(At-Tahrim: 6) 

1) Jika istri masih sering membaca ramalan bintang, suami wajib menegur dan meluruskan akidah istri.
2) Jika istri masih percaya pada orang-orang pintar, dukun maka suami sebaiknya menasehati
3) mempercayai hal sial, hari sialdan membuat sesajen untuk menolak bala

Seorang suami membimbing istri dalam menjalankan kewajiban dan melakukan yang sunnah serta mendorong istrinya dala ketaatan.

4) menjelaskan kepada istri bahwa ti dak boleh menemui tamu bukan mahram tanpa seizin suaminya.

Hal yang dapat dilakukan seorang suami shaleh diantaranya:
1) memberikan pengertian dan nasihat yang baik pada istrinya
2) memberikan teladan yang baik, seperti:

  • rajin shalat di masjid
  • sering membaca Al-Qur'an
  • mengerjakan amal-amal sunnah
  • berteman dengan orang yang baik
3) menyediakan lingkungan keluarga yang kondusif, baik untuk agama istri dan keluarganya




2. MENYEDIAKAN NAFKAH HALAL BAGI KELUARGA

Hal-hal yang perlu diperhatikan. Setelah seorang laki-laki berkeluarga, yang menjadi tanggung jawab utama dirinya adalah anak-anak dan istrinya. Bila ada kelebihan baru orang lain, contoh: bapak ibunya

3. LINGKUNGAN YANG BAIK TANDA CINTA SUAMI

"Barang siapa berkumpul dengan orang musyrik dan bertempat tinggal bersamanya, maka sesungguhnya ia seperti orang itu" (HR. Abu Dawud)

Dalam membina lingkungan rumah tangga dibutuhkan suatu lingkungan yang baik.Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk dapat menciptakan suasana keluarga penuh kebahagiaan dan ketentraman.

Pada kondisi tertentu terkadang akan menghadapi kondisi tertentu.
1. suami terikat pada instasi sedangkan tempat tugasnya tidak lagi memedulikan maslah agama
2. suami mendapat kesulitan ekonomi dan pindah ke tempat lain
3. suami ingin dianggap terpandang secara materi di tengah masyarakat dengan bertempat tinggal di suatu lingkungan tertentu contoh lingkungan jetset

4. Kebutuhan Biologis: Hak Istri yang Tidak Boleh Diabaikan

"Dihalalkan bai kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. Mereka itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka."
(Al-Baqarah:187)

Suami dan istri dalam hubungan biologis mempunyai hak yang sama.Beberapa hal yang menyebabkan suami tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya:
1. suami lebih mementingkan profesinya sendirisehingga seluruh perhatian terkuras pada pekerjaan.
2. sakit
3. suami mempunyai cita-cita menjadi wali Allah
4. suami memiliki rasa dendam kepada istri karena masa lalunya.
5. suami mempunyai wanita simpanan atau pasangan selingkuh

5. MENGHORMATI PERAN ISTRI
" Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya. saya adalah orang yang paling baik diantara kalian terhadapa keluarga saya. Tidak ada orang yang memuliakan wanita, kecuali orang yang mulia dan tidak ada  orang yang menghinakan wanita, kecuali dia sendiri orang yang hina"

Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang suami:
1. berlaku baik pada istri
2. tidak memperlakukan secara sewenang-wenang
3. memuliakan kedudukan istr
4. selalu mengingat nikmat Allah dengan menjadikan seorang wanita menjadi istrinya.
5. Al-Qur'an dan sunnah menjadi nasehat dan tuntunan yang baik

Hal yang menyebabkan suami kurang meuliakan istri:
1. istri mencari nafkah dan suami di rumah
2. suami berpenghasilan kurang dan meminta istri untuk bekerja
3. suami balas dendam

Sikap suami yang tidak memuliakan istrinya adalah cermin konkret dari kerendahan akhlaknya sendiri.

6. HARUSKAH MENCARI KEKURANGAN DAN KESALAHAN ISTRI?

"seorang mukmin tidak boleh mencela seorang mukminat. Sekiranya ia tidak senang kepada salah satu dari sifat-sifat wanita itu, boleh jadi ia senang kepada sifat-sifat lainnya" [HR. Muslim dan Ahmad]

Seorang suami tidak boleh mencari-cari kekurangan dan kesalahan istri. Ia harus menyadari bila hal itu tetap dilakukakan, akan menimbulkan dampak-dampak negatif.Suami pasti mempunyai angan-angan bahwa kelak istrinya harus dapat menjadi seorang bidadar, sempurna rupa, sempurna tingkah laku dan cemerlang segala-galanya.Agan-angan seperti itu, sesungguhnya tidak akan pernah ditemui dan dinikmati dalam kehidupan ini.

Kekurangan-kekurangan istri yang dilihat suami dan dapat diatasi dengan cara-cara sebagai berikut:
1. suami memberi nasihat agar dapat mengurangi kekuranggannya secara bertahap
2. membantu secara langsung
3. suami memberi pembantu atau teman yang bisa mendampingi istri.


7. BIJAK MENGHADAPI KESALAHAN ISTRI

"nasehatilah istri kalian itu dengan baik, karena mereka itu di sisi kalian ibarat tawanan yang kalian tidak memiliki kekuasaanpun lebih dari itu, kecuali kalau mereka melakukan kedurhakaan dengan terang-terangan. Jika mereka melakukan itu, tinggalkanlah mereka di kamar tidurnya atau pukullah dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika mereka sudah menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari alasan."  [HR. Ibnu Majah]

Alasan mengapa seorang suami menegur dengan cara kasar, antara lain:
1. suami yang emosional sehingga kurang bisa mengontrol emosinya ketika istri melakukan kesalahan
2. Istri membandel jika diingatkan kesalahannya
3. Istri menganngap bahwa suaminya hanya dapat menegur kesalahannya tetapi tidak pernah mampu memberi jalan keluar yang lebih baik.

8.BUKAN SOSOK PENGANIAYA

"seseorang tidak dibebani di luar kemampuannya. Seorang ibu tidak boleh disengsarakan karena anaknya dan seorang ayah juga tidak boleh disengsarakan karena anaknya dan begitu juga seorang ahli waris." (QS. Al-Baqarah [2]:233)

Suami dan istri yang telah bercerai tetapi punya anak yang masih disusui wajib tolong menolong dan mengasuh bayinya. Keduanya tidak boleh saling melempar tanggung jawab sehingga membuat celaka bayinya.

Kalau terhadap bekas istrinya saja seorang bekas suami tidak boleh memperlakukan secara aniaya apalagi terhadap wanita yang masih menjadi istrinya.

"Dari Abdullah bin Zam'ah dari Nabi saw, beliau bersabda: "Janganlah seseorang diantara kalian memukul istrinya seperti ia memukul seorang budak, kemudian ia menidurinya pada malam harinya" [HR. Bukhari]

Ada berbagai faktor yang menyebabkan suami berbuat aniaya:
1. suami tak dapat mengendalikan emosi saat melihat tindakan istrinya.
2. suami tidak sabar mendidik istrinya
3. suami membalas dendam kepada keluarga istrinya karena merasa diremehkan

9. SIAGA MERINGANKAN BENBAN ISTRINYA

Prinsip meringankan beban yang telah digariskan Allah SWT berlaku juga dalam kehidupan suami istri. Para suami berharap istrinya dapat mengurus kepentingan rumah tangga perlu menyadari adanya keterbatasan kemampuan istrinya.

Ada beberapa sebab istri mendapat perlakuan yang tidak baik dari suaminya.
1. suami merasa telah membayar mahar yang banyak
2. suami pemalas dan tidak punya rasa tanggung jawab
3. suami kikir dalam mengeluarkan biaya bagi urusan rumah tangganya

Suami yang membiarkan beban istri sehingga menyusahkannya sebenarnya ia sosok suami berakhlak rendah.

10. MENCINTAI ILMU
"orang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya" [HR. Ibnu Majah]

mengajarkan Al-Qur'an kepada orang adalah aktivitas yang sangat mulia di sisi Allah. Bahkan dalam suati kisah salah seorang sahabat ada seorang sahabat yang membberi mahar istrinya berupa halafan. Para suami diperintahkan mengajarkan dan menyampaikan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan istrinya. Sebagai kepala rumah tangga suami perlu mempunyai wakil yang berpengetahuan cukup untuk mendidik anak-anaknya.

Bila suami tidak mau meningkatkan ilmu, maka suami perlu diingatkan adanya tanggung jawab dan siksa hari akhir.karena istri pendidik pertama untuk anak-anaknya. Sehingga suami seharusnya mendorong istri untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang agama atau bidang lainnya.

11. Agar Anak-Anak Memuliakan Ibunda

"kami perintahkan kepada manusia( berbakti) kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah lemah dan menyapihnya dalam 2 tahum. Bersyukurlah kepada Ku dan kepada ibu bapakmu; hanya kepadaKulah kamu kembali (QS.Lukman [31]:4)

Betapa tingginya kedudukan ibu dihadapan anaknya, sehingga Rasulullah menyatakan surga anak terletak pada pengabdian pada ibunya.Hendaklah ayah mendidik mereka untuk menghormati ibunya.Ini berarti dalam bergaul dengan istrinya, suami harus menunjukan sikap hormat, menghargai dan menjunjung tinggi harkat istrinya.

Hanya saja banyak terjadi para suami memperlakukan istrinya tidak terhormat sehingga membuat anak-anaknya meniru perbuatan tersebut. Ini disebabkan oleh:
1. Suami berpendidikan tinngi sedangkan istri berpendidikan rendah.
2. suami dari keluarga terhormat sedangkan istri dari keluarga sederhana.

Memperlakukan istri secara tidak hormat, dihadapan anak-anak berarti mendidik mereka merendahkan ibunya. Bahaya bila tidak menghormati ibunya, antara lain:
1. berperilaku durhaka yang termasuk calon ahli neraka
2. istri menjadi terhina di lingkungan pergaulan sekitarnya
3. istri menjadi stress dan depresi karena kehilangan harga diri
4. keluarga dari istri baik orang tua atau saudaranya tidak menerima perlakuan itu

Bagi istri, penghinaan yang datang dari orang lain masih jauh lebih ringan dibandingkan penghinaan atau perlakuan dari suami dan anak-anaknya.

12.TIDAK DISKRIMINASI PADA ANAK

"samakanlah pemberian diatara anak-anak kalian sebagaimana kalian senang bila  mereka sama dalam berbakti pada kalian" (HR. Muslim)

Secara materiil, seorang ayah bertanggung jawab memberi makanan, minuman, pakaian kepada anak-anaknya dengan perlakuan yang sama. Selain itu perlakuan moril yang sama kepada anak-anaknya dari istrinya. Bila ayah menyambut kedatangan anaknya dengan mengelus kepala dan menciumnya , anak lainpun harus diperlakukan sama.

Pada perilaku baik anak kepada ayahnya tidak hanya akan membahagiakan dirinya di dunia ini, tetapi juga akan memberi keringanan baginya dari segala dosa kelak di akhirat.Akan tetapi, di tengah masyarakat banyak kita temui para suami atau ayah mengabaikan tanggung jawab berlaku sama pada anak-anak.Hal ini disebabkan beberapa hal:
1. suami merasa anak tidak sesuai dengan yang diharapkan
2. anak yang dilahirkan istrinya ada yang secara fisik mengecewakan

Perlakuan sama seorang ayah pada anak-anaknya akan membawa keuntungan:
1. anak-anak akan tumbuh menjadi orang baik
2. anak-anak akan menjadi tulang pungguung yang kuat
3. anak-anak akan memberika investasi besar bagi orang tuanya karena anak yang shaleh tidak hanya akan membantu menambah kebaikan.

13. MEREKATKAN HUBUNGAN KEKERABATAN BERSAMA ISTRI

"barang siapa memutuskan tali silaturahmi atau bersumpah dengan sumpah dusta dia akan menyaksikan mala petakanya sebelum kedatangan maut" (HR. Baihaqi)

Beberapa hal yang menyebabkan suami memutuskan silaturahim:
1. kecewa oleh soka keluarga istrinya
2. merasa berbeda paham denga keluarga istri
3. malu terhadap keluarga istrinya
4. terpengaruh oleh hasutan keluarganya

Hal ini akan menimbulkan dampak negatif bagi dirinya sendiri dan istrinya akan merasa tertekan. Karena hal itu Islam menganjurkan untuk saling berkunjung. Dan bila hal ini tidak terpenuhi maka Allah mengancam datangnya mala petaka.

14. MENJALIN UKHUWAH DUA KELUARGA

"bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian" (An-Nisa:1)

"...karena tali kekeluargaan adalah kecintaan dalam keluarga, meluaskan harta dan menambah panjang umur" (HR.Tirmidzi)

Suami yang merupakan kepala rumah tangga haruslah menjadi pelopor untuk membentuk jaringan keluarganya dan istrinya, tidak boleh mengabaikan usaha dalam rangka menjalin hubungan kekeluargaam yang baik antara keluarganya dan istrinya.

Beberapa faktor yang menjadi kendala
1. Keluarga suami tidak menyetujui
2. Istri tidak menghormati keluarga dari pihak suaminya
3. suami malu memperkenalkan keluarganya kepada istrinya dan kelurganya


Selasa, 18 November 2014

Keutamaan Menyambung Tali Silaturahim ^^


  • Arti Silaturahim
Ibnu Manzhur rahimahullah menjelaskan bahwa silah yang berarti menyambung adalah lawan kata darihujron yang berarti meninggalkan atau memutuskan. (Lisanul ‘Arob 11/726). 

Sehingga silaturrahmi dapat diartikan dengan: “Sebuah ungkapan yang menggambarkan tentang perbuatan baik, kasih sayang dan kelembutan yang ditujukan kepada keluarga yang senasab (satu keturunan) dan karib kerabat, serta perhatian terhadap kondisi mereka, sekalipun mereka berada di tempat yang jauh dan berbuat tidak baik kepada kita. (Lisanul ‘Arob 11/728)

  • BAGAIMANA CARA MENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI?
Silaturahim dapat dilakukan dengan banyak hal, diantaranya:
1. Mengunjungi rumah saudara atau karib kerabat
2. Mengucapkan salam dan berjabat tangan ketika bertemu dengan mereka
3. Bertanya tentang keadaan mereka sekeluarga
4. Memberikan hadiah kepada mereka
5. Bersedekah kepada mereka yang fakir
6. Bersikap lemah-lembut dengan mereka yang berkecukupan,
7. Menghargai dan menghormati orang yang lebih dewasa
8. Menyayangi mereka yang lebih muda
9. Menghubungi mereka via surat pos, sms atau telefon/handphone, 
10. Menjamu mereka dengan baik ketika mereka bertamu
11. Ikut merasakan kebahagiaan yang mereka rasakan
12.  Menghibur mereka tatkala mereka dirudung kesedihan
13. Mendoakan mereka dengan kebaikan
13. Antusias untuk senantiasa menjaga hubungan baik dengan mereka
14. Membesuk orang yang sakit dari mereka
15. Mendatangi undangan mereka
16. Tetap menyambung silaturrahmi orang yang berusaha memutuskannya

  • KEUTAMAAN MENYAMBUNG TALI SILATURRAHMI

Orang yang menyambung tali silaturrahmi bukanlah orang yang menyambungnya sebagai balasan, namun orang yang benar-benar menyambung tali silaturrahmi adalah apabila hubungan kekerabatannya diputus ia terus menyambungnya. (HR. Bukhari 1/559)
Berikut, beberapa keutamannya:
1. Wujud keimanan kita pada hari akhir
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi.(HR. Bukhari 6138)
2.  sebab umur seseorang dipanjangkan dan rizkinya dilapangkan.
Siapa yang suka untuk diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi. (HR. Bukhari 5986 & Muslim 2557)
3. Silaturrahmi salah satu faktor terbesar untuk masuk surga.
Dari Abu Ayyub al-Anshori radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku akan amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan diriku dari api neraka.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabda beliau:
تَعْبُدُ اللَّÙ‡َ Ùˆَلاَ تُØ´ْرِÙƒُ بِÙ‡ِ Ø´َÙŠْئًا، ÙˆَتُÙ‚ِÙŠْÙ…ُ الصَّلاَØ©َ، ÙˆَتُؤْتِÙŠ الزَّÙƒَاةَ، ÙˆَتَصِÙ„ُ الرَّØ­ِÙ…َ.
Engkau beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan sholat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturrahmi. (HR. Bukhari 1396 & Muslim 13)
4. bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala.
“Sesungguhnya hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.  Dan orang-orang yang menyambung apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhan-nya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS. ar-Ra’du: 19-21)
5. Allah akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambung tali silaturrahmi.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya, hingga apabila Dia selesai dari menciptakan mereka, rahim akan berdiri dan berkata: ‘Ini adalah tempat berdiri orang yang berlindung kepada-Mu dari memutuskan tali silaturrahmi.’ Allah berfirman: ‘Ya, tidakkah engkau ridha bila Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu?’ Rahim berkata: ‘Tentu saja.’ Allah berfirman: ‘Maka, itu menjadi milikmu.’” (HR. Bukhari 5987 & Muslim 2554)



Fadhillah Menunggu Waktu Sholat

Shalat seseorang dengan berjama’ah melebihi dua puluh tujuh derajat dari shalat seseorang yang dikerjakan di rumahnya dan di pasarnya, demikian itu karena bila salah seorang diantara mereka berwudhu’ dengan menyempurnakan wudlu’nya, lalu mendatangi masjid, dan tidak ada yang mendorongnya kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah, kecuali akan ditinggikan derajatnya dan dihapus kesalahannya, hingga ia masuk masjid, jika ia telah masuk masjid, maka ia dihitung dalam shalat selama ia tertahan oleh shalat, dan malaikat terus mendoakan salah seorang diantara kalian selama ia dalam majlisnya yang ia pergunakan untuk shalat, malaikat akan berdoa: Ya Allah, rahmatilah dia, Ya Allah, ampunilah dia, Ya Allah maafkanlah dia, selama ia tidak mengganggu orang dan belum berhadats.
(Shahih Muslim 649-272)
Telah menceritakan kepada kami Said bin ‘Amru dan Al Asy’ats telah mengabarkan kepada kami Abtsar (dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Bakkar bin Rayyan katanya, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Zakaria (dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsanna katanya, telah menceritakan kepada kami Ibnu Adi dari Syu’bah semuanya dari Al A’masy tentang sanad dan maksud yang sama.
(Shahih Muslim 649)

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepada kami Bahzu telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Seorang hamba masih dihitung dalam shalat selama ia berada di tempat shalatnya untuk menunggu shalat dan malaikat akan mendoakannya: Ya Allah, ampunilah dia, Ya Allah, rahmatilah dia, hingga ia beranjak atau berhadats. Aku bertanya; Apa yang dimaksud berhadats? Jawabnya: Kentut.
(Shahih Muslim 649-274)

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya, aku pernah menyetorkan hapalan kepada Malik dari Abu Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Salah seorang diantara kalian masih dihitung dalam shalat selama ia tertahan oleh shalat, yang  tidak ada yang menahannya untuk kembali ke keluarganya selain shalat.
(Shahih Muslim 649-275)

Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahab telah mengabarkan kepadaku Yunus (dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Salamah Al Muradi telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Ibnu Hurmuz dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Salah seorang diantara kalian dihitung dalam shalatnya selama ia duduk menunggu shalat, dan tidak berhadats, malaikat juga akan mendoakannya: Ya Allah ampunilah dia, ya Allah, rahmatilah dia.
(Shahih Muslim 649-276)
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Hamam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti hadits ini.
(Shahih Muslim 649)

Minggu, 16 November 2014

Salam, Hati Akan Saling Menyayang... ^^

Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Manakah ajaran Islam yang lebih baik?” Rasul shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Hendaklah engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” (HR Bukhary)

Berkata Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak beriman secara sempurna sehingga kalian saling mencinta. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara bila kalian lakukan akan saling mencinta? Biasakanlah mengucapkan salam di antara kalian (apabila berjumpa).” (HR Muslim)

ata salam dalam Bahasa Arab mempunyai arti keselamatan, kesejahteraan atau kedamaian, dan digunakan oleh kultur Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Untuk yang mengucapkan salam, hukumnya adalah Sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya.
Salam ini juga digunakan oleh kultur Kristen di Timur Tengah yang mempunyai arti kedamaian dan kesejahteraan bagi yang mengucapkan salam dan penerima salam tersebut. Salam ini sama dengan salam shalom aleichem dalam bahasa Ibrani.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hasyr Ayat 23: Dialah Allah, tidak ada ilaah(sesembahan) yang layak kecuali Dia, Maha Rajadiraja, yang Maha Suci, Maha Sejahtera, Maha Mengaruniai rasa aman, Maha Memelihara, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Memiliki segala keagungan. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan.
Di dalam ayat ini, As-Salaam (Maha Sejahtera) adalah satu dari Nama-nama Agung Allah SWT. Kini, Kita akan mencoba untuk memahami arti, keutamaan dan penggunaan kata Salam.

Sebelum terbitnya fajar Islam, orang Arab biasa menggunakan ungkapan-ungkapan yang lain, seperti Hayakallah yang artinya semoga Allah menjagamu tetap hidup, kemudian Islam memperkenalkan ungkapan Assalamu ‘alaikum. Artinya, semoga kamu terselamatkan dari segala duka, kesulitan dan nestapa. Ibnu Al-Arabi di dalam kitabnya Al-Ahkamul Qur’an mengatakan bahwa Salam adalah salah satu ciri-ciri Allah SWT dan berarti “Semoga Allah menjadi Pelindungmu”.
  • Keutamaan Mengucapkan Salam

  1. Salam bukan sekedar ungkapan kasih-sayang, tetapi memberikan juga alasan dan logika kasih-sayang yang di wujudkan dalam bentuk doa pengharapan agar anda selamat dari segala macam duka-derita. Tidak seperti kebiasaan orang Arab yang mendoakan untuk tetap hidup, tetapi Salam mendoakan agar hidup dengan penuh kebaikan.
  2. Salam mengingatkan kita bahwa kita semua bergantung kepada Allah SWT. Tak satupun makhluk yang bisa mencelakai atau memberikan manfaat kepada siapapun juga tanpa perkenan Allah SWT.
  3. Perhatikanlah bahwa ketika seseorang mengatakan kepada anda, “Aku berdoa semoga kamu sejahtera.” Maka ia menyatakan dan berjanji bahwa anda aman dari tangan(perlakuan)-nya, lidah(lisan)-nya, dan ia akan menghormati hak hidup, kehormatan, dan harga-diri anda.

Sabtu, 15 November 2014

Fatimah Binti Muhammad

Terlalu banyak kemulian dan jasa  Fatimah r.ha binti Muhammad yang tidak termampu untuk dinukilkan semuanya. Beliaulah puteri kepada penutup segala Nabi yang banyak mewarisi keindahan akhlak ayahandanya.

Lahirnya Si Puteri Bungsu
            Saat Ummul Qura (Makkah) menyaksikan orang-orang Quraisy membaiki Kaabah, lahirlah puteri bungsu Rasulullah SAW. 5 tahun sebelum kenabian. Beliau sangat mirip dengan ayahandanya yang mulia. Disusui sendiri oleh bundanya. Tatkala masyarakat jahiliyah malu besar setiap kali menerima berita lahirnya anak perempuan, namun Rasulullah SAW sangat gembira dengan kelahiran puterinya. Mencintai dan menyayanginya dengan penuh tulus.

            Didikan di Rumah Kenabian
            Sekolahnya di rumah kenabian. Berguru langsung dengan penghulu segala murabbi, seorang Nabi. Daripada kecil sehinggalah menginjak remaja, beliau sentiasa menjadi yang terbaik. Sumber rujukannya adalah sumber yang terbaik. Ayahnya insan terbaik. Ibunya wanita terbaik. Mengalir daripada asuhan ibu bapa yang agung.

            “Ibu Ayahnya”
            Ketika masyarakat  jahiliyah hidup dalam lumpur kejahatan yang hina, menyembah patung, mabuk arak, membunuh anak perempuan, namun Fatimah menyaksikan ayahnya tetap bersih terpelihara. Fitrah insan bencikan kejahatan. Apabila terbit sinar Islam menerangi tanah Arab dengan terutusnya Nabi akhir zaman, maka Fatimah tidak teragak-agak menyertai ibunya untuk menjadi generasi yang pertama beriman.
Kewafatan bunda tercinta, Khadijah al-Khuwailid, menyebabkan remaja puteri itu berperanan mengambil alih tugas ibunya. Apatah lagi kakak-kakaknya Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kalthum sudah berumah-tangga. Perjuangan ayahnya didokong habis-habisan. Kematangannya terserlah hinggakan para sahabat menggelarkannya, “Ibu ayahnya.” (Rujuk Nisaa ahlil bait, 533-534).
Imam Zarqani berkata, “Sehingga, tidak diperlukan pernyataan khusus untuk membuktikan bahawa mereka adalah generasi pertama yang memeluk Islam, kerana mereka tumbuh dalam bimbingan kedua orang tua yang penuh kasih sayang dan akhlak mulia. Dari ayahnya, Fatimah belajar semua akhlak mulia. Dari ibunya, Fatimah belajar kejernihan fikiran yang tidak dimiliki wanita lain.”

Berani Membela Nabi
Ibnu Ishaq berkata, “Orang-orang Quraisy benar-benar memusuhi Rasulullah dan orang-orang yang memeluk Islam. Mereka tidak henti-henti mendustakan Rasulullah, mengganggu dan melemparinya dengan batu. Mereka juga mengejek baginda sebagai tukang sihir, bomoh dan orang gila. Namun Rasulullah tetap menyebarkan kebenaran.” (Rujuk Sirah Ibnu Hisyam 1/238).
Abdullah bin Umar berkata, “Ketika Rasulullah SAW berada di halaman Kaabah, Uqbah bin Abu Mu’ith mendekati dan menarik bahu Rasullah SAW. Dicekik leher Rasulullah SAW dengan selendangnya. Abu Bakar datang lalu menarik bahu Uqbah supaya ia menjauh daripada Rasulullah SAW.” (Rujuk HR Bukhari, 3856).
Saidina Ali r.a. berkata, “Demi Allah tidak seorang pun dari kami yang berani mendekat kecuali Abu Bakar. Beliau menghalau orang-orang Quraisy itu dan menjauhkan daripada Baginda. (Rujuk Ghafir: 28).
Selain Saidina Abu Bakar r.a., Fatimah r.ha. tidak berpeluk tubuh tatkala melihat ayahnya diganggu dan dianiaya. Suatu kisah menyayat hati diceritakan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud, saat Rasulullah SAW sedang solat berdekatan Kaabah, Abu Jahal dan teman-temannya duduk berhampiran. Mereka saling mencabar,
“Siapa yang berani meletakkan najis unta di punggung Muhammad saat dia sujud?” Maka bergegaslah orang yang paling sengsara di antara mereka iaitu Uqbah bin Abu Mu’ith. (Rujuk Bukhari, 3186 dan Muslim 1794.)
Mereka ketawa berdekah-dekah. Rasulullah SAW tetap bersujud. Tiada siapa berani membela  saat itu sehingga Fatimah r.ha. dengan beraninya datang membuang najis unta. 

            Rela Menahan Lapar, Iman Tidak Pudar
            Tragedi pemulauan kaum muslimin amat menguji iman. Ketika itu kebencian kaum kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW kian memuncak. Sejarahwan Suhaili merekodkan: 
Jika ada rombongan pedagang datang ke Kota Makkah, beberapa orang Islam pergi ke pasar Makkah untuk membeli makanan buat ahli keluarga mereka. Namun Abu Lahab berkata dengan suara lantang, 
“Wahai para pedagang, jika teman-teman Muhammad ingin membeli sesuatu, berikan harga yang sangat mahal agar mereka tidak dapat membelinya. Jangan takut tidak laku, aku yang akan membeli barang dagangan kalian.”
Lalu para pedagang itu menaikkan harga sangat tinggi. Orang-orang Islam pun tidak mampu membeli. Mereka tidak memperolehi makanan dan pakaian.
            3 tahun orang-orang Islam melalui hari-hari yang penuh kelaparan di perbukitan. Fatimah r.ha. sabar dan teguh melalui kesulitan tempo itu. Namun, parahnya ujian kelaparan membuatkan Fatimah r.ha jatuh sakit. Bondanya juga tenat menahan sakit.
            Sakit Fatimah belum pulih, bondanya pula dijemput Ilahi. Kesedihan bertali arus. Gadis tabah itu tidak tenggelam dalam emosi. Beliau menggagahkan diri untuk terus bangkit mendokong perjuangan ayahanda tercinta habis-habisan.

            Mengagumi Keberanian Ali r.a.
            Penyiksaan demi penyiksaan makin tidak kenal belas kasihan. Selepas beberapa siri penghijrahan, akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin berhijrah ke Madinah. Baginda menyusul kemudian, ditemani oleh Saidina Abu Bakar r.a.  Peristiwa hijrah yang agung itu diatur dengan penuh strategi.
Fatimah r.ha tidak dapat melupakan keberanian Saidina Ali r.a. menggantikan tempat tidur ayahandanya. Peranan yang sangat penting dalam strategi hijrah kerana taruhannya adalah nyawa. Allah SWT juga tidak melupakan keberanian Saidina Ali r.a. menggantikan tempat tidur Nabi hingga menganugerahkan Fatimah r.ha. sebagai teman tidur hidupnya. Alangkah bertuahnya Ali.

                Pernikahan yang Barakah
            Di dalam buku Raudhatul Muhibbin wanuzhatul Musytaqin, karangan Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyebut, puteri Nabi, Fatimah az-Zahra pernah dipinang oleh Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar namun kedua-duanya ditolak oleh Rasulullah SAW. Kenapa ya? Rupa-rupanya, Rasulullah SAW tidak mahu semua puterinya dimadukan.
            Pada tahun ke-2 hijrah, Saidina Ali r.a. menikahi Fatimah r.ha. Pernikahan barakah ini berlangsung setelah perang Badar. Demi memiliki cinta penghulu bidadari syurga, Saidina Ali r.a. menjual sebahagian barang miliknya termasuk peralatan perang. Semuanya bernilai  480 dirham.
Daripada jumlah itu, Rasulullah menyuruh menggunakan 2/3 daripadanya untuk membeli wangi-wangian dan 1/3 daripadanya untuk membeli pakaian. Rasulullah memasukkan wangi-wangian itu ke dalam bekas mandi dan menyuruh pengantin mandi dengan air itu.
            Fatimah r.ha rela malah bahagia dinikahi oleh Saidina Ali r.a. meskipun  hidup miskin. Biarpun maharnya rendah, dihadiahkan pula mahar itu kepada suami tercinta. Berpindahlah pengantin baru ke rumah suaminya yang tidak memiliki perabot.  Rumah yang sangat sederhana. Hanya terdapat kulit biri-biri sebagai alas tidur, bantal berisi serabut tamar, penggiling gandum, ayakan dan sekantung susu. Letak rumah itu pula jauh daripada rumah Rasulullah SAW. (Rujuk Nisa’ Mubassirat bil Jannah: 209).
Rasulullah SAW berperanan sebagai mentua terbaik apabila memberikan nasihat yang panjang sebelum meninggalkan anak menantunya mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Didekatkan pula anak menantu dengan keluarga baginda apabila memindahkan mereka berdekatan dengan rumah baginda itu di salah sebuah rumah pemberian Haritsah r.a. (Rujuk Suwar min hayatis sahabah, 40)
Rumah tangga suaminya diuruskan sendiri. Terserlah peribadinya sebagai seorang wanita yang sabar, taat beragama, baik, menjaga kehormatan, qana’ah dan sentiasa bersyukur kepada Allah SWT. (Rujuk al-Siyar: 2/119).

Zikir Fatimah
Kelelahan menguruskan tugas rumah tangga seharian, mendidik anak-anak, ditambah pula dengan tugas-tugas dakwah menyebabkan Fatimah r.ha teringin mempunyai seorang pembantu. Lagipun, kebetulan pada masa itu Islam mempunyai banyak tawanan perang.
Kelelahan Fatimah r.ha. bukan sedikit. Jika pada zaman ini, kita hanya perlu ke kedai untuk membeli sebuku roti namun Fatimah r.ha. perlu menggilingnya daripada biji-biji gandum, mengayak, mengadun dan membakarnya sendiri.
Dipendamkan dahulu niat memiliki pembantu biarpun beberapa kali menziarahi Rasulullah SAW kerana sangat pemalu untuk meminta daripada ayahandanya. Begitu juga suaminya. Namun lantaran berat beban ditanggung, Fatimah ra terpaksa meluahkan keperluannya itu pada suatu hari. 
Kebetulan, kaum muslimin mempunyai beberapa orang tawanan perang yang boleh dijadikan hamba atau pembantu. Fatimah r.a memohon salah seorang daripadanya. Permintaan itu tidak dikabulkan oleh Rasulullah.
Hal ini bukan kerana tidak elok memiliki pembantu rumah kerana semua isteri Rasulullahpun mempunyai pembantu rumah. Namun, selaku pemimpin yang adil, Rasulullah SAW lebih mengutamakan untuk memberi makan kepada golongan suffah (golongan merempat yang menumpang tinggal di masjid) dengan duit hasil jualan para tawanan tersebut. Fatimah r.ha. dan suaminya pulang dengan ridha.
Tidak lama kemudian, Rasulullah SAW pula datang ke rumah puterinya. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahawa Baginda bersabda,
“Mahukah ayah ajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang diminta? Jika hendak tidur, bacalah takbir 34 kali, tasbih 33 kali, tahmid 33 kali. Ini lebih baik daripada seorang pembantu.” Lalu, zikir ini terus menemani hayat Fatimah r.ha. Beliau dan suaminya memilih hidup zuhud dan sangat sederhana. (Rujuk Nisa’ Ahlil Bait: 550).

Membuktikan Wanita Berhak Mengizinkan atau Minta Dibebaskan Jika Suaminya Ingin Berpoligami
            Suatu hari Saidina Ali r.a. dipinang oleh Abu Jahal untuk puterinya. Hal itu amat menyakitkan Fatimah r.a. Apabila diadukan kepada ayahandanya, ternyata Rasulullah SAW juga terasa disakiti dengan apa yang menyakitkan puterinya. Baginda berdiri lalu berpidato, “Aku telah nikahkan Abu Ash bin Rabi’. Dia berkata kepadaku dengan jujur. Fatimah binti Muhammad adalah sebahagian daripadaku. Aku tidak suka orang-orang menyakitinya. Demi Allah, tidak akan berkumpul puteri utusan Allah dengan puteri musuh Allah pada seorang lelaki.”
Mishwar bin Makhramah pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar, “Bani Hasyim bin Mughirah memintaku merestui pernikahan  puteri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.  Aku tidak izinkan, dan aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali menceraikan puteriku dan menikahi puteri mereka. Puteriku adalah bahagian daripadaku. Apa yang membuatnya gelisah juga membuatku gelisah, dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (Rujuk HR Muslim, 2449). Maka Ali r.a. menolak pinangan Abu Jahal.
            Imam Nawawi berkata, dari hadis ini para ulama mengambil kesimpulan, “Tidak boleh menyakiti Rasulullah SAW walaupun pada perkara yang harus. Seperti peristiwa di atas, perkahwinan puteri Abu Jahal dengan Ali sebenarnya harus dilakukan tetapi Rasulullah SAW melarangnya dengan dua alasan: 1. Pernikahan itu akan menyakiti Fatimah, dan itu menyakiti Rasulullah. 2. Khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik pada Fatimah yang timbul dari rasa cemburu.” (Rujuk Syarhun Nawawi: 16/4).
Imam Bukhari RA berkata (hadis 5230): Qutaibah meriwayatkan kepada kami dari Laits dari Ibnu Abi Mulaikah dari Miswar ibn Makhramah dia berkata, saya mendengarkan Rasulullah SAW bersabda dari atas mimbar, "Sesungguhnya Bani Hisyam ibn Mughirah meminta izin untuk menikahkan puteri mereka dengan Ali ibn Abu Talib, maka aku tidak mengizinkan, kemudian aku tidak mengizinkan, kemudian aku tidak mengizinkan. Kecuali putera Abu Talib ingin menceraikan puteriku dan menikah dengan puteri mereka. Kerana dia adalah darah dagingku, membuat aku sedih apa yang menyedihkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya."[1] 
Ulama-ulama memberikan beberapa tafsiran terhadap hadis ini sebagaimana dipetik dalam kitab syarah hadis Bukhari yang paling terkenal iaiatu Fathul Bari 86/7,  karangan Ibnu Hajar al-Asqalani. Antara tafsirannya ialah:
1.      Puteri Abu Jahal tidak layak bersama Fatimah dalam satu darjat sebagai madu.
2.      Difahami daripada konteks kisah ini Rasulullah telah mensyaratkan kepada Ali supaya tidak memadukan Fatimah r.ha. Rasulullah SAW menyebut menantunya yang lain telah menunaikan janji mereka. Jelas sekali bahawa menantu yang lain memenuhi satu syarat iaitu tidak memadukan puteri Rasulullah sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Dia berkata kepadaku, dia jujur kepadaku, dia berjanji kepadaku maka dia memenuhi janjinya.” Berkata al-Hafiz Ibnu Hajar, “Dia berkata kepadaku, dia jujur kepadaku.” Ia seperti syarat ke atas dirinya supaya tidak memadukan Zainab. Begitu juga Ali r.ha., jika dia tidak berbuat begitu juga (memenuhi syarat itu) ia mungkin lupa pada syarat itu, maka didatangkanlah dalam khutbah (untuk mengingatkannya). Ataupun mungkin tidak berlaku pun syarat seandainya tidak dijelaskan bahawa itu suatu syarat, tetapi menjadi kemestian ke atasnya meraikan ketetapan ini. Oleh sebab itulah berlakunya cercaan (ke atas kesalahannya supaya dibetulkan).
3.      Meraikan hak Fatimah r.ha. Dia ketiadaan ibu dan kakak sebagai tempat bergantung, penghilang kesedihan dan menjadi peneman. Dia kehilangan ibu kemudian kakak-kakaknya seorang demi seorang, dan tidak tinggal seorangpun yang dapat ia bermanja dan dapat menjadi peringan beban masalahnya jika nanti dia cemburu.
Realiti hari ini, masih wujudkah bapak sewibawa Rasulullah SAW dalam memahami dan membela rasa hati puterinya?

            Setiap Yang Berhak Boleh Menyuarakan Haknya
            Setelah kewafatan ayahandanya, Rasulullah SAW, Fatimah r.ha meminta daripada Abu Bakar r.a. sebahagian harta warisan Nabi.  Walaupun Rasulullah telah mengkhabarkan awal-awal kepadanya bahawa usianya paling dekat menyusuli kematian baginda namun hak tetap hak.  Fatimah masih menuntutnya walaupun tahu beliau sudah dekat hendak mati.
Abu Bakar menegaskan bahawa, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Kami para Nabi tidak mewariskan harta. Apa yang ditinggalkan adalah untuk disedekahkan.” ( HR Bukhari).
Abu Bakar berpegang dengan hujah ini. Manakala Fatimah juga mempunyai hujahnya yang tersendiri. Kedua-duanya  dalam daerah pahala kerana mempertahankan sesuatu dengan hujah yang benar bukan mengikut nafsu. Perbezaan pendapat itu lumrah. Fatimah al-Zahra tetap lantang menyuarakan haknya kepada Abu Bakar untuk mewarisi sebidang tanah.
            Ketika Fatimah r.a jatuh sakit, tidak lama selepas kewafatan ayahandanya, Abu Bakar datang meminta redhanya sehingga Fatimah meredhainya. (Ibnu Hajar menyebutkan hadis ini  yang disandarkan ke Baihaqi yang berkata, “Meskipun hadis ini mursal, tapi sanadnya ke Sya’bi tetap sahih. (Fathul Bari: 6/139).”
            Teladan  kita ini menunjukkan  contoh bahawa walaupun dalam Islam, menunaikan tanggung jawab lebih utama daripada menuntut hak, tapi, itu tidak bermakna Islam menghalang menyuarakan hak. Maka, berlumba-lumbalah kita menunaikan tanggung jawab. Dalam masa yang sama, menghargai  hak kita dan menghormati sesiapa yang menuntut haknya.

Perginya Bunga Agama
            Pada hari Selasa, 3 Ramadhan tahun ke-11 Hijriah, selepas enam bulan kewafatan Rasulullah SAW, Fatimah r.ha pulang ke rahmatullah dengan tenang dan bahagia. Suaminya mengalirkan air mata. Begitu juga anak-anaknya yang amat mencintainya, Hassan, Hussain,  Zainab dan Ummu Kulthum. (Ada riwayat mengatakan puteri-puterinya bernama Zainab al-Kubra dan Zainab al-Asghar).
Umat Islam membanjiri Masjid Nabawi. Solat jenazah dipimpin oleh Saidina Ali r.a. dan kali kedua dipimpin oleh Abbas bin Abdul Mutallib r.a. Bunga agama itu lalu dimakamkan di perkuburan Baqi’ bersebelahan dengan makam saudara-saudaranya, Zainab r.a., Ruqayyah r.a. dan Ummu Kalthum r.a. (RujukNisa’ Ahlul Bait: 601-603).